Holga adalah salah satu brand kamera low fidelity (low-fi) jenis medium format yang sedang “happening” di kalangan kaum muda dan pencinta pop-art di Indonesia. Holga dengan konstruksi kamera dan lensa non-state-of-the-art hadir membawa angin perubahan dalam penilaian fotografi yang identik dengan kesempurnaan baik itu secara teknis maupun nilai estetis, maka efek low-fi seperti vignetting, light leak, blur, dandistorsi menjadi karakteristik (estetis) yang dicari dan diminati oleh para pengguna Holga dan jenis kamera low-fidelity lainnya. Kerap kali ketidak-akuratan warna & eksposure mewarnai hasil proses pengambilan gambar, namun itulah juga yang membuat kita “addicted” untuk mencoba lagi dan lagi…
Sejarah brand HOLGA yang kita kenal sekarang ini di Indonesia identik dengan branding dari Lomography Society International (LSI), sebagai distributor dan seller dari beberapa varian Holga dan kamera low-fi lainnya yang telah diakuisisi untuk “dihidupkan kembali” seperti Lomo, Diana, Horizon, Lubitel, CMENA; dan masih banyak yang lainnya.
Namun perlu diketahui jika riwayat hidup Holga bukanlah lahir dari rahim LSI, namun dari seorang pengusaha China, T.M. Lee di dekade 1980. Sang kreator bertujuan membuat kamera yang terjangkau dan murah sehingga dapat digunakan oleh para kelas pekerja/proletariat (komunisme) di China Daratan untuk merekam potret acara keluarga dan kegiatan lainnya yang bersifat non-profesional, juga mengingat perkembangan medium film 120mm (terutama B/W) di saat itu adalah medium yang ter-populer.
Di tahun 1982, Holga mulai masuk ke pasar yang lebih luas yaitu Hong Kong, dimana nasib masa depan Holga ditentukan disini. Karena cukup terbuka-nya per-ekonomian Hong Kong terhadap pasar di dunia “BARAT”, maka tak ayal lagi Holga terkena imbas nya sehingga bisa bertualang menjelajahi pasar Eropa dan Amerika lalu seiringnya waktu sampai ke seluruh dunia. Esensi Holga yang pada awalnya di kampung halaman-nya, China, bersifat non-profesional, hanya merekam potret acara keluarga. Sedangkan di Barat, Holga “naik martabat”, keunikan dan karakteristiknya mulai digali dan diaplikasikan oleh para fotografer untuk merekam gambar dalam genre street photography, landscape, surrealism, still life, dst.
Eksplorasi tak terhingga dengan tingkat kreativitas tinggi oleh para fotografer Barat dan itulah yang saya disebut sebagai kolaborasi “When East Meets West”, membuat Holga menjadi salah satu icon kamera medium format low-fi produksi Timur, juga brand lain yang patut disejajarkan adalah brand Diana. Varian Produk HOLGA 120mm (Medium Format) berkembang ke arah modifikasi inovatif, seperti Holga-Ramas (Holga Panorama),Holga-Roid (Holga dgn back Polaroid), dan Pin-Holga (Holga Pinhole).
Cukup banyak fotografer professional tak memandang sebelah mata kemampuan Holga yang terbatas ini, dan hebatnya mereka berkarya dengan Holga yang mampu meng-inspirasi audience, baik itu Holga IR Landscape (fine art) oleh Wallace Billingham, Holga Jurnalistik oleh John Stanmeyer (VII Agency) dengan Bali Mystic-nya; David Burnett (White House’s Official Photographer) dengan portrait Barrack Obama, dan masih banyak lagi karya-karya yang dihasilkan oleh fotografer dengan Holga di gallery FLICKR dan forum-forum kamera yang dapat meng-inspirasi dan sangat ekspresif tentunya.
Bagi saya pribadi, Holga adalah sebuah kamera yang patut dimiliki sebagai alternative penunjang proses berkarya dalam konteks fotografi medium format. Holga walaupun dengan minim fungsi dan kontrol namun dapat menghasilkan gambar yang ekspresif dan dengan karakter yang khas dan last but not least… don’t judge the camera by it’s brand…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar